Islam Kok Pacaran
oleh Aliman Syahrani
Soal pacaran
                                    di zaman sekarang tampaknya menjadi 
gejala umum di kalangan kawula muda. Barangkali fenomena ini sebagai 
akibat dari pengaruh
                                    kisah-kisah percintaan dalam roman, 
novel, film dan syair lagu. Sehingga terkesan bahwa hidup di masa remaja
 memang harus
                                    ditaburi dengan bunga-bunga 
percintaan, kisah-kisah asmara, harus ada pasangan tetap sebagai tempat untuk bertukar cerita dan berbagi
                                    rasa.
Selama ini
                                    tempaknya belum ada pengertian baku tentang pacaran. Namun setidak-tidaknya di
                                    dalamnya akan ada suatu bentuk pergaulan antara laki-laki dan wanita tanpa nikah.
Kalau
 ditinjau
                                    lebih jauh sebenarnya pacaran 
menjadi bagian dari kultur Barat. Sebab biasanya masyarakat Barat 
mensahkan adanya fase-fase
                                    hubungan hetero seksual dalam kehidupan manusia sebelum menikah seperti puppy love (cinta monyet), datang (kencan),
                                    going steady (pacaran), dan engagement (tunangan).
Bagaimanapun
                                    mereka yang berpacaran, jika 
kebebasan seksual da lam pacaran diartikan sebagai hubungan suami-istri,
 maka dengan tegas mereka
                                    menolak. Namun, tidaklah demikian 
jika diartikan sebagai ungkapan rasa kasih sayang dan cinta, sebagai 
alat untuk memilih
                                    pasangan hidup. Akan tetapi 
kenyataannya, orang berpacaran akan sulit segi mudharatnya ketimbang 
maslahatnya. Satu contoh
                                    : orang berpacaran cenderung 
mengenang dianya. Waktu luangnya (misalnya bagi mahasiswa) banyak terisi
 hal-hal semacam melamun
                                    atau berfantasi. Amanah untuk 
belajar terkurangi atau bahkan terbengkalai. Biasanya mahasiswa masih 
mendapat kiriman dari
                                    orang tua. Apakah uang kiriman untuk
 hidup dan membeli buku tidak terserap untuk pacaran itu ?
Atas
 dasar
                                    itulah ulama memandang, bahwa 
pacaran model begini adalah kedhaliman atas amanah orang tua. Secara 
sosio kultural di kalangan
                                    masyarakat agamis, pacaran akan 
mengundang fitnah, bahkan tergolong naif. Mau tidak mau, orang yang 
berpacaran sedikit demi
                                    sedikit akan terkikis peresapan 
ke-Islam-an dalam hatinya, bahkan bisa mengakibatkan kehancuran moral 
dan akhlak. Na’udzubillah
                                    min dzalik ! 
Sudah banyak
                                    gambaran kehancuran moral akibat pacaran, atau pergaulan bebas yang telah terjadi akibat science dan peradaban modern
                                    (westernisasi). Islam sendiri sebagai penyempurnaan dien-dien
 tidak kalah canggihnya memberi penjelasan mengenai
                                    berpacaran. Pacaran menurut Islam 
diidentikkan sebagai apa yang dilontarkan Rasulullah SAW : "Apabila 
seorang di antara kamu
                                    meminang seorang wanita, andaikata 
dia dapat melihat wanita yang akan dipinangnya, maka lihatlah." (HR Ahmad dan Abu
                                    Daud).
Namun
 Islam
                                    juga, jelas-jelas menyatakan bahwa 
berpacaran bukan jalan yang diridhai Allah, karena banyak segi 
mudharatnya. Setiap orang
                                    yang berpacaran cenderung untuk 
bertemu, duduk, pergi bergaul berdua. Ini jelas pelanggaran syari’at ! 
Terhadap larangan
                                    melihat atau bergaul bukan muhrim 
atau bukan istrinya. Sebagaimana yang tercantum dalam HR Bukhari dan 
Muslim dari Ibnu Abbas
                                    yang artinya: "Janganlah salah 
seorang di antara kamu bersepi-sepi (berkhalwat) dengan seorang wanita, 
kecuali bersama dengan
                                    muhrimnya." Tabrani dan Al-Hakim
 dari Hudzaifah juga meriwayatkan dalam hadits yang lain: "Lirikan mata 
merupakan
                                    anak panah yang beracun dari setan, 
barang siapa meninggalkan karena takut kepada-Ku, maka Aku akan 
menggantikannya dengan
                                    iman sempurna hingga ia dapat 
merasakan arti kemanisannya dalam hati."
Tapi
 mungkin
                                    juga ada di antara mereka yang 
mencoba "berdalih" dengan mengemukakan argumen berdasar kepada sebuah 
hadits Nabi SAW yang
                                    diriwayatkan Imam Abu Daud 
berikut : "Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena 
Allah, atawa memberi
                                    karena Allah, dan tidak mau memberi 
karena Allah, maka sungguh orang itu telah menyempurnakan imannya." Tarohlah mereka
                                    itu adalah orang-orang yang mempunyai tali iman yang kokoh, yang nggak bakalan
 terjerumus (terlalu) jauh dalam mengarungi
                                    "dunia berpacaran" mereka. Tapi kita
 juga berhak bertanya : sejauh manakah mereka dapat mengendalikan kemudi
 "perahu pacaran"
                                    itu ? Dan jika kita kembalikan lagi 
kepada hadits yang telah mereka kemukakan itu, bahwa barang siapa yang 
mencintai karena
                                    Allah adalah salah satu aspek 
penyempurna keimanan seseorang, lalu benarkah mereka itu mencintai satu 
sama lainnya benar-benar
                                    karena Allah ? Dan bagaimana mereka 
merealisasikan "mencintai karena Allah" tersebut ? Kalau (misalnya) ada 
acara bonceng-boncengan,
                                    dua-duaan, atau bahkan sampai buka 
aurat (dalam arti semestinya selain wajah dan dua tapak tangan) bagi si 
cewek, atau yang
                                    lain-lainnya, apakah itu bisa 
dikategorikan sebagai "mencintai karena Allah ?" Jawabnya jelas tidak !
Dalam
 kaitan ini peran
                                    orang tua sangat penting dalam 
mengawasi pergaulan anak-anaknya terutama yang lebih menjurus kepada 
pergaulan dengan lain
                                    jenis. Adalah suatu keteledoran jika
 orang tua membiarkan anak-anaknya bergaul bebas dengan bukan muhrimnya.
 Oleh karena itu
                                    sikap yang bijak bagi orang tua 
kalau melihat anaknya sudah saatnya untuk menikah, adalah segera saja 
laksanakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar