Senin, 23 November 2015

Kisah Pilu Akses Pendidikan di Pelosok Pandeglang


Kisah Pilu Akses Pendidikan di Pelosok Pandeglang

Menyambut Hari Guru yang jatuh pada 25 November 2015, harian Kompasmempersiapkan beberapa liputan khusus. Salah satu perjalanan yang tak terduga adalah saat menuju beberapa kecamatan di Kabupaten Pandeglang, Banten, beberapa waktu lalu.
Suhendi, guru honorer mengajar di kelas jauh SD Kutakarang 3, Kecamatan Cibitung, Kabupaten Pandeglang, Banten, Sabtu (21/11). Sekolah ini kekurangan guru karena lokasinya terpencil sehingga tidak banyak guru yang berminat mengajar di tempat ini.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNGSuhendi, guru honorer mengajar di kelas jauh SD Kutakarang 3, Kecamatan Cibitung, Kabupaten Pandeglang, Banten, Sabtu (21/11). Sekolah ini kekurangan guru karena lokasinya terpencil sehingga tidak banyak guru yang berminat mengajar di tempat ini.
Wartawan Kompas, Luki Aulia, dan fotografer Yuniadhi Agung, mengunjungi Kecamatan Cibaliung, Kecamatan Cimanggu, dan Kecamatan Cibitung. Salah satu dasar pertimbangannya adalah daerah tersebut menjadi daerah terjauh dan akses yang tersulit di Pandeglang.
Sekolah-sekolah yang datangi adalah SDN Padasuka 4 di Kecamatan Cimanggu, SDN Curug 2 dan SDN Sorongan 2 di Kecamatan Cibaliung. Kompas juga mengunjungi SDN Sorongan 2 plus kelas jauhnya yang terpaut jarak sekitar 10 kilometer.
Lalu SDN Kutakarang 03 di Kecamatan Cibitung dan kelas jauhnya yang berjarak sekitar 7 kilometer. Terakhir adalah SDN Cikiruh dan kelas jauhnya di Kecamatan Cibitung, jarak sekolah induk dan kelas jauhnya sekitar 10 kilometer.
Kompas dengan akun Twitter @hariankompas telah memublikasikan foto-foto di balik layar ini melalui Twitter.
Di Kecamatan Cimanggu, guru-guru harus melewati jembatan gantung yang tak bisa dilewati sepeda motor. Biasanya sepeda motor baru bisa lewat saat musim kemarau.Salah satu akses menuju kelas jauh di SDN Sorongan 2 di Kecamatan Cibaliung harus melewati jalan setapak yang ketika hujan pasti berlumpur. Jarak dari ibu kota Kecamatan Cibaliung sekitar 10 kilometer. "Jalan setapak penuh lumpur," kata Luki Aulia.
Kondisi kelas jauh SDN Sorongan 2 sangat memprihatinkan dengan bangunan dari material bambu, tak lebih baik dari kandang kambing. Hanya ada dua kelas, yaitu kelas I dan kelas II dengan 16 murid warga sekitar. "Di sekolah itu ada Bu Guru Diah, guru honorer atau sukwan, mengajar setiap hari dan diberi honor Rp 200.000 per bulan," kata Luki.
Musim hujan selalu menjadi kendala terberat untuk akses jalan ke pelosok Pandeglang. "Begitu musim hujan, langsung semua jalan berlumpur. Motor guru sering macet karena ban motor terlalu banyak ketempelan lumpur. Kami jalan tiga jam ini sudah berkali-kali berhenti karena motor guru macet," kata Luki.
Jika tak ketemu jalan sempit berlumpur, mereka bertemu urukan jalan setapak dengan batu-batu tajam yang sebenarnya dibilang mewah tetapi membuat perjalanan tak nyaman. "Pokoknya dari perjalanan ini kemampuan ngedhendan ngempet meningkat untuk menahan guncangan, naik motor enggak pernah bisa diam," kata Luki.
Kondisi mengenaskan di jalan berlanjut hingga ke ruangan kelas. Di salah satu kelas yang dikunjungi, satu ruangan harus dibagi menjadi dua kelas. "Sebelah kiri kelas I sedang belajar membaca. Sebelah kanannya ada kelas II sedang belajar Matematika. Dipastikan tak bisa konsentrasi karena dua-duanya berbicara bareng," kata Luki.
Siswa  kelas II dan III SD Sorongan 2, Kecamatan Cibaliung, Kabupaten Pandeglang, Banten, berbagi kelas, Jumat (20/11). Keterbatasan ruang kelas membuat siswa harus berbagi ruangan dengan kelas lain.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Mamat Basuni,  Kepala SD Kutakarang 3, Kecamatan Cibitung, Kabupaten Pandeglang, Banten, mengendarai sepeda motor melintasi jalanan di perbukitan menuju kelas jauh SD Kutakarang 03 yang berjarak sekitar 10 kilometer dari sekolah inti, Sabtu (21/11). Jalur jalan ini hanya bisa dilintasi saat musim kemarau. Saat musim hujan, untuk menuju kelas jauh harus ditempuh dengan jalan kaki selama tiga jam. Lokasi sekolah yang sulit diakses memuat guru harus berjuang untuk menuju sekolah.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
"Anak-anak baca keras-keras, sementara sebelahnya guru juga tak kalah keras suaranya menerangkan soal Matematika," kata Luki.
Di perjalanan menuju sekolah lainnya, guru yang membawa sepeda motor harus menata "jalan" terlebih dulu sebelum nyeberang. Sebab, banyak jembatan yang keropos dan harus diperbaiki dulu. "Kejeblos itu sudah biasa," kata Luki.
Kondisi di kelas jauh SDN Kutakarang 3 di Kecamatan Cibitung juga sama mengenaskannya. Banyak anak-anak yang tak bisa belajar karena harus ikut orangtuanya bekerja di ladang. "Asri dan Ita, murid kelas I di kelas jauh, baru belajar menulis sekitar enam bulan. Hasilnya sudah bagus, bisa baca dan tulis. Padahal, mereka lebih sering tidak masuk sekolah karena harus bantu orangtua di ladang," ujar Luki.
Di kelas jauh SDN Cikiruh, satu ruangan juga untuk dua kelas, kelas IV dan V. "Karena tidak ada sekatnya, guru cara ngajarnya begini: mata pelajarannya harus sama. Tetapi nanti yang sebelah kiri disuruh menulis terus yang sebelah kanan mendengarkan guru. Nanti gantian. Pokoknya mata pelajarannya harus sama biar murid tidak bingung," kata Luki.
Kisah perjalanan para guru di berbagai pelosok ini dimuat di harian Kompasedisi cetak mulai Senin (23/11) hingga Rabu (25/11). Harian Kompas juga mengajak warga pengguna internet (netizen) untuk berbagi kisah tentang perjuangan guru-guru yang pernah mewarnai hidup kita di media sosial, terutama Twitter dengan tagar (hashtag) #TerimakasihGuruku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar