Sepertinya sudah menjadi
rutinitas, tiap menjelang pemilu, para politisi merasa perlu menyambangi para
kiai, kiai disebut sebagai seorang guru di suatu pondok pesantren dan sarjana
ilmu keislaman. Sebagaimana layaknya seorang tamu, para kiai itu pun menyambutnya
dengan lapang dan penuh penghormatan. Semua politisi, apa pun partainya dan
dari kekuatan mana pun dia, tetap diperlakukan sama. Tidak peduli dia reformis,
status quo, sipil, militer, ataupun koruptor, semuanya mendapatkan penghormatan
sepadan saat berkunjung. Sambutan kepada seorang Tutut (Siti Hardiyanti
Rukmana), tak berbeda saat menyambut Gus Dur, demikian juga dengan Amien Rais,
Hamzah Haz, ataupun Megawati.
Manuver para politisi
menyambangi kiai sebenarnya mudah dibaca maksud dan tujuannya. Apakah maksud
dan tujuan politisi itu tercapai, itu lain persoalan. Perilaku politik kiai
semenjak dulu susah ditebak, dan mereka memiliki ukuran, nilai, dan kriteria
sendiri soal politik, di samping punya independensi yang tinggi terhadap semua
kekuatan politik. Perilaku politik kiai bisa dibaca di buku karya Greag Fealy,
Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 (LKiS, Yogyakarta, 2003). Tidak
selalu sikap baik kiai menyambut para politisi dimaknai sebagai persetujuan
untuk memberikan dukungan politik. Inilah yang perlu diklarifikasi sekaligus
diketahui, baik oleh publik maupun politisi.
Persoalan kepentingan baik
secara individu atau kelompok yang muncul pada kiai di Jawa (pusat) yang
berpengaruh terhadap perilaku politik kiai. Implikasi yang muncul dari perilaku
politik kiai NU terhadap induk organisasi NU; Terbentuknya kemungkinan pola
konflik di kalangan ulama NU di PKB dan PNU menjelang dan setelah pemilihan
umum 1999 akibat perbedaan kepentingan itu serta tantangan dan prospek
partai-partai itu ke depan.
Kedua, dari kompleksitas data
yang penting dan relevan di atas, kemudian dilakukan pengklasifikasian data
dalam beberapa titik tekan persoalan munculnya perilaku politik yang berbeda di
kalangan ulama NU yakni perdoalan politik, keagamaan, sosial dan budaya. Pada
tahap inilah pendekatan-pendekatan teori yakni teori elite, politik aliran,
patron client, budaya politik, sosialisasi dan orientasi politik yang dijadikan
teori untuk memahami dan meneliti perilaku politik ulama dalam penelitian ini
diterapkan.
Ketiga, dilakukan pengolahan
data secara kualitatif. Dalam tahapan ini setiap data diberikan pengertian
sehingga mudah untuk dipahami. Pengertian ini dimaksudkan untuk menganalisis
inti pemikiran yang ada dalam data. Terakhir, dilakukan penyimpulan ringan
sebagai langkah awal untuk membuat kesimpulan akhir. Kerangka pikir yang
menyangkut beberapa faktor yang mempunyai kecenderungan sebagai penyebab
perbedaan perilaku ulama NU di PKB digunakan sebagai asumsi-asumsi untuk
menghasilkan kesimpulan-kesimpulan sementara dalam penelitian ini. Penggabungan
antara kerangka pikiran dan teori-teori perilaku politik yang ada dengan
kondisi obyektif hasil penelitian kemudian dijadikan pedoman untuk melakukan
penyimpulan akhir.
Bab 1 KIAI PESANTREN :
Dari Ibadah Hingga Politik
Situasi sosial politik setelah
lengsernya rezim Orde baru mengalami perubahan yang sangat siknifikan,
perubahan tidak hanya pada tingkat intuisi politik saja akan tetapi juga
pada sistem kepartaian yang semula terbatas menjadi multi partai. Oleh sebab
itu keadaan yang seperti ini di manfaatkan banyak kelompok-kelompok yang
berkepentingan untuk mendirikan partai politik sebagai representatsi dari
keinginan rakyat yang telah lama terkekang oleh rezim Orde baru.
Salah satu fakta politik yang
turut ambil bagian dalam momentum perubahan ini adalah organisasi NU dan kiyai
pesantren. Keterlibatan NU dan kiyai pesantrendalam deklarasi Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) membuktikan kelompok kepentingan ini menaruh peduli
terhadap nasib demokratisasi di Indonesia, meskipun secara formal kebijakan NU
tersebut bertabrakan dengan keputusan muktamar NU Situbondo yang menggariskan
kembali ke khittah 1926 bahwa meletakkan posisi NU pada diameter netral dengan
mengambil jarak yang sama terhadap semua organisasi politik harus tetap
dijaga..
Perpolitikan yang melibatkan
organisasi NU dan kiyai pesantren merupakan konfigurasi baru dalam perjalanan
politik NU pasca keputusan kembali ke khittah 1926. Dengan sikap NU menjadi
organisasi independen dengan menarik garis secara tegas antara perjuangan
keumatan dan politik praktis, pelarangan dan jabatan, dan juga mengakibatkan
kebebasan warga NU memilih partai menjadi pudar setelah NU dan para kiyai
pesantren ikut dalam pendeklarasian PKB.
Banyak argumentasi bahwa posisi
kiyai pesantren sanagat setrategis, dapat kita cermati dari realitas sosial
dalam tradisi NU. Perjuangan penting NU di bidang social keagamaan, pendidikan,
pengembangan masarakat dan bidang politik, sebagian besar berada ditangan kiyai
pesantren. Sehingga pemisahan peran NU dan kiyai pesantren sangat sulit
keduanya memiliki hubungan social kultural yang sangat kuat karena keberadaan
kiyai pesantren dengan kekayaan tradisi danm jaringan sosialnya merupakan pilar
penting dan telah memberi kontribusi bagi perkembangan NU.
Pola hubungan kekerabatan yang
di bangun kiyai dalam tradisi pesantren berlangsung cukup efektif. Sehingga
tradisi pesantren dapat berkembang menjadi sisten social yang memiliki pengaruh
kepada masyarakat luas. Pengaruh pesantren dengan senioritas kiyainya, tidak
hanya pada persoalan sosial keagamaan tapi pengaruh juga pada persoalan ekonomi
dan politik.
Politik NU secara organisasi
dan kiyai pesantren sangat sulit dibedakan, meski keduanya adalah intuisi yang
berdiri sendiri, akan tetapi secara politis keduanya memiliki hubungan timbal
balik, artinya perpolitikan waga NU banyak dipenaruhi oleh kiyai pesantren dan
sikap politik kiyai pesanten juga sering dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan
NU. Dimana perjalanan politik beriring dengan dinamika peran politik kiyai
pesantren. Bahkan peran kiyai pesantren ini terkadang menjadi pemicu konflik di
dalam NU. ( Karena dalam realitasnya persoalan-persoalan eksternal dibawa masuk
pada internal NU ) pesantren tidak hanya mampu mempertahankan eksistansinya
saja, pesantren juga memiliki antusias dan konsisten mengaplikasikan etos dan
misinya. Kemudian kiyai pesantren ini memiliki pengaruh yang sangat besar di
lingkungannya baik bidang politik maupun sosial
Bab 2 KHITTAH 1926 DAN POLITIK KIAI :
Dalam Hamparan Sejarah
Adanya kebijakan “kembali ke
khittah”, pada satu sisi, memang membebaskan kiai dan umat Islam pada umumnya
dari afiliasi terhadap partai tertentu, tetapi pada sisi yang lain, hal itu
telah menyebabkan tidak saja munculnya berbagai orientasi politik di kalangan
umat Islam tetapi juga makin menurunnya politik Islam dan pengaruh politik kiai
itu sendiri. Oleh karena itu tidak mengherankan jika di hampir semua kasus,
politik kiai secara perorangan tidak diikuti oleh semua pengikutnya.
Pengaruh kiai dalam wilayah
politik tidak sekuat dalam bidang social dan kemasyarakatan. Meskipun menjadi
tokoh kharismatik, hanya sedikit pengikut yang merasa terdorong untuk mengikuti
langkah politik kiai. Perbedaan antara kiai dan pengikutnya dalam hubungannya
dengan perilaku politik akhirnya menjadi fenomena biasa, khususnya setelah
berubahnya partai politik Islam. Namun demikian, peran kiai secara umum masih
tetap penting karena kiai berada di garis depan dalam membimbing moralitas dan
ortodoksi umat Islam.
Bab 3 REPUTASI PUNCAK POLITIK KIAI :
Keberadaan kiai pesantern dalam
hal kebangsaan dan keislaman memiliki sejarah yang cukup panjang. Dalam sejarah
perjuangan merebut kemerdekaan dan menghadapi pemberontakan PKI, kiai pesantren
selalu menempatkan Negara pada posisi penting yang wajib dibela dan
dipertahankan dalam kerangka itu, kiai pesantren memandang perlu untuk
memperkuat garis perjuangan.
Kehadiran dalam setiap
perubahan di ndonesia menunjukkan bahwa kiyai yang terikat pola pemikiran Islam
tradisional mampu membenahi diri untuk tetap memiliki peran dalam membangun
masa depan bangsa dan Negara. Kiai juga mampu memperbarui penafsiran mereka
tentang Islam tradisonal sesuai denagn kebutuhan situasi modern. Keberhasilan
modernisasi kiai dalam pemikiran kiyai tidak kalah dengan pemikiran
kelompok social politik lain yang sejak awal menyatakan diri sebagai organisasi
modern.
Ada kontruksi sosial yang
menempatkan kiai menjadi individu yang memiliki integritas moral dan selalu
memiliki pengikut, kontruksi sosial yang seperti ini menjadikan kiai menempati
posisi elit di dalam masarakat. Keberadaan kiai pada posisi bergengsi disini
dapat difahami dan sudah menjadi hukum sosial akan kebutuhan tokoh sentral
(elit) dalam setiap masarakat. Elit dalam tindakan social dapat diimplikasikan
pada sebuah perubahan social, dimana keberadaan elit tidak cukup diukur dengan
kecakapan, ketrampilan dan kelihaian, tetapi dilihat dari sisi moralitas dan
konsekuensi perjuangannya. Seperti memosisikan kiai sebagai elit NU yang
dikaitkan dengan struktur kepribadian, struktur social dan struktur kebudayaan.
Sehingga ketokohan seorang kiyai tidak hanya pada lingkungan pesantren, tetapi
pada lingkungan luar pesantren.
ΓΌ Karisma dan Hegemoni Politik Kiai
Sepertinya sudah menjadi
rutinitas, tiap menjelang pemilu, para politisi merasa perlu menyambangi para
kiai. kiai disebut sebagai seorang guru di suatu pondok pesantren dan sarjana
ilmu keislaman. Sebagaimana layaknya seorang tamu, para kiai itu pun
menyambutnya dengan lapang dan penuh penghormatan. Semua politisi, apa pun
partainya dan dari kekuatan mana pun dia, tetap diperlakukan sama. Tidak peduli
dia reformis, status quo, sipil, militer, ataupun koruptor, semuanya
mendapatkan penghormatan sepadan saat berkunjung. Sambutan kepada seorang Tutut
(Siti Hardiyanti Rukmana), tak berbeda saat menyambut Gus Dur, demikian juga
dengan Amien Rais, Hamzah Haz, ataupun Megawati.
Manuver para politisi
menyambangi kiai sebenarnya mudah dibaca maksud dan tujuannya. Apakah maksud
dan tujuan politisi itu tercapai, itu lain persoalan. Perilaku politik kiai
semenjak dulu susah ditebak, dan mereka memiliki ukuran, nilai, dan kriteria
sendiri soal politik, di samping punya independensi yang tinggi terhadap semua
kekuatan politik. Tidak selalu sikap baik kiai menyambut para politisi dimaknai
sebagai persetujuan untuk memberikan dukungan politik. Inilah yang perlu
diklarifikasi sekaligus diketahui, baik oleh publik maupun politisi.
Sisi penting eksistensi kiai
terletak pada karismanya. Karisma dalam kajian sosial susah diketahui melalui
sifat yang definitif, namun dapat dikenali melalui sederetan kepribadian kuat,
berpengaruh besar, tekun, amat ekspresif, pemberani, tegas, penuh percaya diri,
supel, berpandangan tinggi, dan energik (Shills, 1968). Karisma itu sendiri,
menurut Abdul Majid (1995), bersumber dari keluasan ilmu agama, akhlak, dan
kemampuan retorikanya. Kepemilikan karisma inilah yang membuat kiai mampu
memegang otoritas kepemimpinan di luar negara yang punya akses kuat untuk
mempengaruhi dan menggerakkan massa. Dalam politik praksis, massa adalah
kuantitas suara untuk menuju puncak kekuasaan sehingga sebenarnya jelas, kepentingan
politisi adalah memanfaatkan karisma yang dimiliki para kiai untuk tujuan
pragmatis politik mereka.
Logika yang dibangun oleh para
politisi sederhana, yaitu ketika ia mampu mempengaruhi seorang kiai saja,
secara otomatis ia pun akan mendulang dukungan dari massa yang dimiliki kiai.
Namun, kiai tidaklah selugu sebagaimana dikira para politisi. Alih-alih
politisi mempengaruhi para kiai, yang terjadi justru sebaliknya. Dan, itulah
yang kita harapkan. Dengan menggunakan kerangka analisis Antonio Gramsci
(1891-1937), proses mempengaruhi itu saya sebut hegemoni. Namun, saya akan
menggunakan istilah ini dalam makna positif, bukan negatif yang diperkenalkan
Gramsci. Dengan menghegemoni para politisi, diharapkan para politisi akan
mengikuti moralitas, pandangan, dan nilai yang diyakini para kiai. Lantas,
harus dilakukan di wilayah mana proses hegemoni itu?
Ada dua pandangan yang terus
mengalami perdebatan tentang di wilayah mana kiai seharusnya memainkan peran
hegemoninya dalam hubungannya dengan politik praktis. Pandangan pertama
menganggap peranan itu harus dimainkan di luar pagar politik praktis, yaitu
peran high politics. Alasannya terkait dengan posisi kiai yang semestinya
mentransendensikan dirinya di atas semua kelompok, di samping wajah dunia politik
negeri ini yang lebih banyak menampilkan borok busuk. Kiai sebagai tokoh
panutan seharusnya berdiri di atas semua kekuatan politik; tidak memihak pada
satu kekuatan politik tertentu. Peran ini akan sirna manakala kiai sudah
mengkubu pada salah satu kekuatan politik.
Dunia kiai adalah dunia suci
yang dipenuhi nilai-nilai moral, kebaikan, dan kebajikan, sementara dunia
politik penuh dengan intrik, lumpur dan noda. Sebaik dan sebersih apa pun
orang, termasuk kiai, ketika masuk politik praktis maka mau tidak mau dia akan
terkena percikan lumpur itu karena dalam dunia politik mestilah terjadi
perebutan kepentingan untuk kekuasaan. Kekuasaan itu selalu melenakan dan
membuat orang lupa daratan. Legitimasi kiai itu bukan diperoleh lewat jalur
kekuasaan, namun sikap dan tindakan moralnya, di samping otoritas keagamaan
yang dimilikinya sehingga terjun ke politik praktis bukan malah meneguhkan
pamor dan karisma kiai, tetapi sebaliknya. Dan, akhirnya yang terjadi justru
kiai yang dihegemoni oleh para politisi.
Pandangan yang kedua justru
kebalikan yang pertama. Justru dunia politik praktis yang selama ini dianggap
kotor itu yang perlu dibenahi dan diluruskan. Kiai sebagai sosok yang bersih,
berilmu, dan bermoral punya kewajiban untuk memperbaikinya, yaitu dengan cara masuk
ke dalamnya. Bukan hanya berdiri di luar pagar dan memberikan wejangan, namun
memberikan contoh langsung bagaimana menjadi seorang politisi yang menjunjung
nilai-nilai moral dan kebaikan. Kewajiban ini juga tidak dapat dilepaskan dari
status kiai sebagai pewaris nabi.
Dalam terminologi Ali Syariati,
kiai itu merupakan nabi-nabi sosial yang mencerap jalan para nabi. Nabi tidak
hanya mengkhotbahkan kebaikan dan kebajikan, namun juga memberikan teladan
dalam medan sosial. Tugas kenabian tidak hanya melulu dilakukan melalui
majelis, mimbar, dan podium, tetapi juga aksi-aksi praksis, baik melalui
gerakan sosial maupun gerakan politik. Menghindari politik dan kekuasaan yang
dianggap bobrok sama dengan membiarkan kemungkaran bertahan di muka bumi ini.
Proses hegemoni juga akan lebih efektif jika masuk dalam sistem, apalagi jika
mereka bergerak secara jemaah.
Saya menganggap bahwa dua
pandangan itu tidak perlu dipertentangkan karena keduanya saling melengkapi.
Artinya, proses hegemoni dapat dilakukan dari dua arah sekaligus, yaitu dari
luar sistem dan dari dalam sistem, sehingga yang terjadi sebenarnya adalah
proliferasi peran. Sebagaimana difirmankan oleh Tuhan, tidak perlu semua orang
maju perang, harus ada sebagian yang tetap tinggal untuk menyeru kebaikan. Peran
dalam sistem tidak lebih utama daripada di luar sistem. Keutamaannya justru
terletak pada komitmen para kiai dalam memegang teguh dan konsisten terhadap
nilai-nilai yang ia perjuangkan sehingga di mana pun dia berada, baik dalam
kekuasaan atau di luar kekuasaan, akan senantiasa memancarkan nilai-nilai itu.
Kiai itu bagaikan bola kristal
yang tiap sudutnya memendarkan cahaya yang menerangi segenap sudut kehidupan
manusia. Sudah saatnya, kita perlu kepemimpinan para malaikat untuk menarik
pendulum kekuasaan negeri ini yang sudah disesaki para setan.
Bab 4 PERSINGGUNGAN NU, KIAI DAN POLITIK
:
Polemik Di Sekitar Kelahiran NU
Menurut hitungan kalender hijriyah,
tanggal 31 Juli 2007 yang bertepatan dengan 16 Rajab merupakan hari ulang tahun
Nahdlatul Ulama (NU) yang ke-84. NU didirikan di Surabaya pada 16 Rajab 1344
Hijriyah, yang waktu itu bertepatan dengan 31 Januari 1926. NU didirikan untuk
menjadi wadah bagi usaha mempersatukan dan menyatukan langkah para ulama
pesantren di dalam rangka tugas pengabdian yang tidak lagi terbatas pada soal
kepesantrenan dan kegiatan ritual keagamaan semata, tetapi lebih ditingkatkan
lagi pada kepekaan terhadap persoalan kemasyarakatan pada umumnya.
NU juga merupakan gerakan
keagamaan yang bertujuan untuk membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat
yang bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, trampil, berakhlak mulia, tentram, adil
dan sejahtera. Sebagai organisasi kemasyarakatan, NU menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari keseluruhan bangsa Indonesia, senantiasa menyatukan diri
dengan perjuangan nasional.
Kaitannya dengan ranah politik,
barangkali para pendiri NU tidak pernah bermimpi untuk menjadikan jam’iyahnya
akan berkecimpung di dunia politik, karena ia lahir bukan dari wawasan politik,
bukan karena kepentingan kursi di parlemen, atau posisi penting di
pemerintahan. Akan tetapi dalam kenyataannya, selama 32 tahun (1952-1984)
organisasi ulama ini telah menceburkan diri ke dalam kancah politik.
Sikap NU atau warga NU
(nahdliyin) terhadap perkembangan politik nasional memang terkesan responsif
dan akomodatif. Hal ini bisa dilacak jauh ke belakang. Sejak didirikannya
(1926) sampai tahun 1945, NU menegaskan dirinya sebagai organisasi sosial
keagamaan. Identitas itu ditinggalkannya ketika dari tahun 1945- 1952 bergabung
dengan partai Masyumi dalam bentuk federasi. Konflikkonflik internal antara
unsur-unsur tradisionalis dan modernis di tubuh Masyumi menyebabkan NU keluar
dari Masyumi dan menyatakan sebagai partai sendiri.
Dalam Pemilu 1955, yang dikenal
sebagai pemilu yang sangat demokratis itu, Partai NU keluar sebagai partai
politik terbesar ketiga setelah PNI dan Masyumi. Bila ketika NU masih bergabung
dengan Masyumi hanya kebagian 8 kursi, maka setelah berpisah, NU menduduki 45
kuri di Parlemen. Keberhasilan NU dalam pemilu itu tidak hanya mengubah
posisinya di parlemen, tetapi juga dalam kabinet di mana dari 25 menteri yang
ada, NU menduduki 5 jabatan menteri.
Dalam Pemilu 1971, yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Orde Baru yang penuh dengan intrik dan
intimidasi itu, Partai NU menempati urutan kedua setelah Golkar. Bila pada
Pemilu 1955 NU mempunyai 45 wakil di Parlemen, maka pada Pemilu 1971 ini NU menduduki
58 kursi di DPR yang berarti ada kenaikan 13 kursi.
Pada tahun 1973, Pemerintah
Orde Baru mengadakan restrukturisasi politik di mana di Indonesia hanya
diperbolehkan adanya tiga kekuatan sosial politik yakni: Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia
(PDI). Empat partai Islam yang ada waktu itu (NU, Parmusi, Perti dan PSII)
berfusi menjadi satu partai yaitu PPP.
Meskipun NU merupakan unsur
terbesar dalam PPP, namun NU tidak pernah mendapatkan posisi yang strategis
sebagai ketua umum partai. Di saat itu, situasi politik nasional juga kurang
menggandeng NU sehingga NU merasa termaginalisasikan di pentas politik
nasional. Akhirnya pada tahun 1984, melalui Muktamar NU ke- 27 di Situbondo, NU
menyatakan kembali ke khittah 1926, yakni kembali ke niatan semula sebagai
organisasi sosial keagamaan.
Dengan kata lain, NU
menghentikan segala aktivitas politik praktis dan kembali menggalakkan kegiatan
sosial, pendidikan dan dakwah. Dengan keputusannya ini, NU tidak lagi
berafiliasi ke PPP dan memberikan kebebasan kepada seluruh warganya, termasuk
para kyai, untuk menyalurkan aspirasi politik mereka ke partai politik mana
saja yang mereka pilih. Sebagai organisasi sosial keagamaan yang telah
melepaskan baju politiknya, NU lebih luwes dibanding bila tetap berafiliasi ke
salah satu parpol. Norma-norma organisasinya lebih longgar. Meskipun demikian,
tidak tertutup kemungkinan warga NU berpartisipasi aktif di bidang politik.
Bab 5 KIAI PESANTREN DAN TRADISI POLITIK
NU :
Polarisasi politik, perbedaan
cara pandang dalam berpolitik juga menyebabkan perseteruan antarkyai dan
antarpesantren yang diasuhnya. Mereka adalah sama-sama warga nahdliyin.
Idealnya, para pemimpin umat termasuk para kyai, tidak terlibat langsung dalam politik
praktis. Mereka cukup sebagai guru bangsa yang selalu siap untuk dimintai
nasihat dan fatwa. Keberpihakan mereka dalam salah satu partai politik, apalagi
aktif di dalamnya, akan mengurangi akses dakwah ke masyarakat yang lebih luas.
Sebagai pewaris nabi, posisi
yang sangat tinggi dalam Islam, tugas mereka adalah membimbing umat menuju
keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Tugas itu insya Allah jauh
lebih bermanfaat daripada terjun di dunia politik. Belakangan ini muncul
fenomena bahwa jabatan di NU dijadikan sebagai jembatan atau batu loncatan
untuk bisa dipilih menjadi anggota legislatif atau dipilih menduduki jabatan
politik, mulai dari tingkat nasional, propinsi sampai kabupaten. Ambisi itu
bolehboleh saja, tetapi alangkah baiknya bila seseorang yang sudah sejak awal
niat berkhidmah untuk NU bisa istiqamah, bisa konsisten dengan niat awalnya.
Bab 6 REALISASI KIAI PESANTREN NU DAN
PKB :
Ketika era reformasi datang
menyusul tumbangnya rezim Orde Baru, kesempatan untuk mendirikan partai politik
sangat terbuka. Karena NU, sebagai organisasi, terikat dengan khittah ’26 maka
bukan NU yang berubah lagi menjadi partai politik, akan tetapi nafsu warganya
sangat besar untuk mendirikan parpol. Mereka mendirikan beberapa partai
politik, dan yang difasilitasi oleh PBNU adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
yang secara resmi didirikan pada tanggal 23 Juli 1998.
Dalam perjalanannya, partai ini
tidak bisa berjalan mulus sebagaimana yang diharapkan. Beberapa kyai sepuh NU
dan para politisi yang semula sangat mendukung PKB ”lari” dan mendirikan partai
baru yang dinamakan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Dengan berdirinya
PKNU yang bidikannya juga warga nahdliyin, maka warga nahdliyin semakin banyak
mempunyai pilihan, tetapi konsekuensinya tidak akan pernah ada partai yang
didukungnya bisa menjadi besar. Sebagian orang berpendapat bahwa politik
menjanjikan kursi empuk yang menyenangkan. Itulah sebabnya tujuan politik
antara lain adalah merebut kursi sebanyak-banyaknya, mengincar kedudukan dan
posisi di jajaran pemerintahan.
Banyak orang, termasuk ulama
dan kyai yang senang pada posisi semacam itu. Keinginan yang seperti itu lumrah
dan manusiawi selama cara untuk mencapainya dengan jalan yang terhormat dan
elegan. Ketika atensi dan energi warga NU terserap ke dalam dunia politik,
ditengarai banyak kyai dan pengasuh pesantren yang kurang memberikan perhatian
terhadap jamaah dan pesantren yang dipimpinnya. Akibatnya banyak pesantren dan
madrasah yang perkembangannya sangat memprihatinkan. Polarisasi politik,
perbedaan cara pandang dalam berpolitik juga menyebabkan perseteruan antarkyai
dan antarpesantren yang diasuhnya. Mereka adalah sama-sama warga nahdliyin.
Idealnya, para pemimpin umat
termasuk para kyai, tidak terlibat langsung dalam politik praktis. Mereka cukup
sebagai guru bangsa yang selalu siap untuk dimintai nasihat dan fatwa.
Keberpihakan mereka dalam salah satu partai politik, apalagi aktif di dalamnya,
akan mengurangi akses dakwah ke masyarakat yang lebih luas. Sebagai pewaris
nabi, posisi yang sangat tinggi dalam Islam, tugas mereka adalah membimbing
umat menuju keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Tugas itu
insya Allah jauh lebih bermanfaat daripada terjun di dunia politik.
Belakangan ini muncul fenomena
bahwa jabatan di NU dijadikan sebagai jembatan atau batu loncatan untuk bisa
dipilih menjadi anggota legislatif atau dipilih menduduki jabatan politik,
mulai dari tingkat nasional, propinsi sampai kabupaten. Ambisi itu bolehboleh
saja, tetapi alangkah baiknya bila seseorang yang sudah sejak awal niat
berkhidmah untuk NU bisa istiqamah, bisa konsisten dengan niat awalnya.
Bab 7 KIAI PESANTREN, NU, KEGADUHAN
POLITIK :
Pesantren merupakan lembaga
utama tempat sejumlah besar umat Islam dididik. Arti penting pesantren tidak
hanya terletak pada kenyataan bahwa ia telah menanamkan sistem nilai Islam
yang, paling tidak, telah menciptakan masyarakat yang lebih religius, tetapi
juga karena kiai yang memimpin pesantren sering kali juga terlibat dalam
wilayah politik.
Secara singkat, kepemimpinan
kiai pada umumnya adalah kepemimpinan keagamaan yang penting dan telah
berlangsung lama. Afiliasi penduduk kepada kiai tertentu tampak ketika ia dikaitkan
dengan politik, dan kata “kiai saya” adalah ungkapan umum yang menunjukkan
keterkaitan penduduk dengan kiai tertentu.
Keterlibatan kiai NU dalam
politik tampaknya tidak dapat dihindarkan. Posisi ulama yang berada di garis
depan masyarakat Islam tidak hanya menjadikan mereka para pemimpin informal
yang menjaga paham Ahlus sunnah wal jama’ah, tetapi juga para pemimpin politik
karena, di Indonesia, hubungan antara politik dan Islam sangat kuat.
Upaya-upaya ulama untuk mengembangkan para Ahlus sunnah wal jama’ah
direalisasikan dengan mendirikan pesantren sebagai pusat-pusat pendidikan
Islam. Di sisi lain, kepentingan ulama dalam politik direalisasikan dengan
keterlibatan mereka dengan partai politik Islam.
Otoritas kiai memiliki
keterbatasan legitimasi. Paling tidak, ia mempunyai batasan-batasan yang
menentukan wilayah atau situasi bagi keberlakuannya. Batasan-batasan ini
bersifat normatif dan dinyatakan secara longgar dalam konsep “berjuang demi
Islam”. Konsep ini dapat digunakan oleh pengikut kiai mana pun atau kelompok
dalam masyarakat untuk menilai seorang kiai.
Sebagai pemegang otoritas
keagamaan, kiai didudukkan pada posisi yang terhormat sehingga mampu
mempengaruhi dan menggerakkan aksi atau tanggapan emosional para pengikutnya.
Namun demikian, dalam situasi-situasi tertentu, pengaruh kiai dapat menjadi
tidak bermakna ketika otoritasnya dianggap telah menyimpang dari yang
seharusnya. Pada titik ini, para pengikut (umat) mempunyai dasar untuk
menentang legitimasi keputusan kiai, khususnya dalam isu-isu sosial dan
politik, terutama dalam kasus pemilu. Anjuran kiai untuk mendukung sebuah
partai selain partai Islam, misalnya, mengundang tanggapan negatif dari para
pengikutnya. Beberapa kiai bahkan ditinggal oleh pengikutnya karena pendirian
politiknya.
Kegagalan politik Islam telah
mendorong kiai, melalui NU, untuk membebaskan umat Islam dari kewajiban
menganut orientasi politik tertentu. Akibatnya, afiliasi keagamaan yang
sebelumnya mengarahkan langkah-langkah politik masyarakat menjadi kabur.
Kewajiban moral (agama) yang sering dikaitkan dengan politik pun menjadi
longgar. Pandangan kiai tentang pemerintah, misalnya, telah berubah secara
signifikan. Perubahan dalam kepemimpinan politik kiai dimulai ketika NU
mengeluarkan kebijakan “kembali ke khitah”. Perubahan dalam politik kiai ini
menimbulkan perubahan dalam politik Islam. Para kiai yang pada mulanya selalu
mengaitkan antara politik dan agama akhirnya membebaskan politik dari
keterlibatan agama.
Dengan demikian, meskipun ada
faktor-faktor eksternal yang menyebabkan runtuhnya politik Islam, seperti
pengenalan “asas tunggal” oleh pemerintah yang membuat Islam tidak lagi menjadi
ideology partai apa pun, perubahan sikap politik kiai juga merupakan faktor
yang menentukan. Sikap politik beberapa kiai yang berafiliasi dengan Golkar
telah memunculkan berbagai afiliasi politik di kalangan umat Islam. Secara
singkat, kepemimpinan kiai pada umumnya adalah kepemimpinan keagamaan yang
penting dan telah berlangsung lama. Afiliasi penduduk kepada kiai tertentu
tampak ketika ia dikaitkan dengan politik, dan kata “kiai saya” adalah ungkapan
umum yang menunjukkan keterkaitan penduduk dengan kiai tertentu.
Keterlibatan kiai NU dalam
politik tampaknya tidak dapat dihindarkan. Posisi ulama yang berada di garis
depan masyarakat Islam tidak hanya menjadikan mereka para pemimpin informal
yang menjaga paham Ahlus sunnah wal jama’ah, tetapi juga para pemimpin politik
karena, di Indonesia, hubungan antara politik dan Islam sangat kuat.
Upaya-upaya ulama untuk mengembangkan para Ahlus sunnah wal jama’ah,
direalisasikan dengan mendirikan pesantren sebagai pusat-pusat pendidikan
Islam. Di sisi lain, kepentingan ulama dalam politik direalisasikan dengan
keterlibatan mereka dengan partai politik Islam.
Menurut Dr. Endang Turmudi,
otoritas kiai memiliki keterbatasan legitimasi. Paling tidak, ia mempunyai
batasan-batasan yang menentukan wilayah atau situasi bagi keberlakuannya.
Batasan-batasan ini bersifat normatif dan dinyatakan secara longgar dalam
konsep “berjuang demi Islam”. Konsep ini dapat digunakan oleh pengikut kiai
mana pun atau kelompok dalam masyarakat untuk menilai seorang kiai.
Sebagai pemegang otoritas
keagamaan, kiai didudukkan pada posisi yang terhormat sehingga mampu
mempengaruhi dan menggerakkan aksi atau tanggapan emosional para pengikutnya.
Namun demikian, dalam situasi-situasi tertentu, pengaruh kiai dapat menjadi
tidak bermakna ketika otoritasnya dianggap telah menyimpang dari yang
seharusnya. Pada titik ini, para pengikut (umat) mempunyai dasar untuk
menentang legitimasi keputusan kiai, khususnya dalam isu-isu sosial dan
politik, terutama dalam kasus pemilu. Anjuran kiai untuk mendukung sebuah
partai selain partai Islam, misalnya, mengundang tanggapan negatif dari para
pengikutnya. Beberapa kiai bahkan ditinggal oleh pengikutnya karena pendirian
politiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar